Kuliah merupakan jenjang setelah kita melewati masa putih abu-abu,disinilah semua berubah mendapatkan teman yang jauh lebih beragam ketimbang dizaman putih abu-abu nih sob,,,,,
Di UNS lebih dikenal dengan the green campus tempat mimin kuliah ni ya kampusnya enak banget orang-orangnya juga dosennya apalagi,,
ketika memasuki gerbang perkuliahan tentunya mahasiswa hidup berdampingan akrab sama yang namanya tugas, paper, makalah, ujian, kost an, penelitian,praktikum dan sebagainya yang secara terasa apa gak sih membuat kita semakin mandiri(red:terutama anak2 yang ngekost ni)
But this is a wonderfull life
bersyukur kita dapat mengenyam bangku perkuliahan dan berusahalah to be agood student hehehe
Bersyukur,Berdoa,Berusaha dan Berhasil
Aminnnn
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DIFUNGSIKAN TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER
PKN atau Pendidikan Kewarganegaranaan
merupakan pendidikan yang sangat mempengaruhi perilaku orang dalam berperilaku Menurut Soemantri (1967) Pendidikan Kewarganegaraan Negara (PKN)
merupakan mata pelajaran sosial yang bertujuan untuk membentuk atau membina
warga negara yang baik, yaitu warganegara yang tahu , mau dan mampu berbuat
baik.Selain itu pentingnya PKN dalam dunia pendidikan adalah sebagai media
pembentukan moral juga pendidikan berperan kuat dalam pembentukan karakter suatu
masyarakat.Ini sebabnya Negara memiliki kepentingan besar terhadap pendidikan
yasitu untuk mempersiapkan warga negaranya memiliki karakter yang kuat dalam
rangka mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Harbinson and hanushek a
county which is unable to develop the skill and knowledge of its people and to
utilize them effectively in the national economiy will be unable to develop
anything else.
Beberapa pakar yang mengembangkan pembelajaran nilai
moral, dengan tujuan membentuk watak atau karakteristik.Pakar-pakar tersebut
diantaranya adalah Newman, Simon, Howe, dan Lickona. Dari beberapa pakar
tersebut, pendapat Lickona yang lebih cocok diterapkan untuk membentuk
watak/karater anak. Pandangan Lickona (1992) tersebut dikenal dengan educating
for character atau pendidikan karakter/watak untuk membangun karakter atau
watak anak. Dalam hal ini, Lickona mengacu pada pemikiran filosofi Michael
Novak yang berpendapat bahwa watak/ karakter seseorang dibentuk melalui tiga
aspek yaitu, moral knowing, moral feeling, dan moral behavior, yang satu sama
lain saling berhubungan dan terkait. Lickona menggarisbawahi pemikiran Novak.
Ia berpendapat bahwa pembentukan karakter/watak anak dapat dilakukan melalui
tiga kerangka pikir, yaitu konsep moral(moral knowing), sikap moral(moral
feeling), dan prilaku moral(moral behavior). Dengan demikian, hasil pembentukan
sikap karekter anak pun dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu konsep moral,
sikap moral, dan perilaku moral.
Pemikiran Lickona ini mengupayakan dapat digunakan untuk membentuk watak anak, agar dapat memiliki karater demokrasi. Oleh karena itu, materi tersebut harus menyentuh tiga aspek teori (Lickona), seperti berikut.Konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective talking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self knowledge).
Sikap moral (moral feeling) mencakup kata hati (conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (and huminity).Prilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will) dan kebiasaan (habbit).
Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa pengertian moral/ moralitas adalah suatu tuntutan prilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Dalam pembelajaran PKN.
Pemikiran Lickona ini mengupayakan dapat digunakan untuk membentuk watak anak, agar dapat memiliki karater demokrasi. Oleh karena itu, materi tersebut harus menyentuh tiga aspek teori (Lickona), seperti berikut.Konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective talking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self knowledge).
Sikap moral (moral feeling) mencakup kata hati (conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (and huminity).Prilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will) dan kebiasaan (habbit).
Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa pengertian moral/ moralitas adalah suatu tuntutan prilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Dalam pembelajaran PKN.
Dalam kurikulum sejarah Indonesia pendidikan karakter
pernah dilakukan melalui Budi Pekerti antara tahun 1966-1975 kemudian dalam
kurikulumya berikutnya yaitu prosedur pengembangan system Instruksional atau
PPSI (LJ.Moelong, 1976) Pembelajaran Budi Pekerti tersebut hilang dan
digantikan dengan tujuan pembelajaran berdasar taksonomi bloom ranah
affektif.Sejak saat itu semua harapan untuk membekali siswa dengan pendidikan
karakter dilakukan dengan melalui mata pelajaran yang relevan dengan itu yaitu
pelajaran agama dan Pancasila ( yang sekarang berubah menjadi pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan).Dan pelajaran lain melalui pembelajaran dengan
ranah affektif. Dalam pendidikan Indonesia saat ini implementasi
pendidikan karakter diterjemahkan Dalam berbagai institusi pendidikan secara
beragam.Pada dasarnya implementasi tersebut berkisar pada dua hal yang
eksklusif dan inklusif.Implementasi eksklusif menyatakan pendidikan karakter dilakukan
dengan cara khusus. Cara inklusif adalah yang secara tidak langsung membentuk
disiplin dan sejenisnya pada mahasiswa ,misalnya pada mata pelajaran khusus
tenyang pendidikan karakter yang harus diikuti oleh semua mahasiswa misalnya
jumlah absensi yang harus dipenuhi oleh mahasiswa.
Disamping itu ada 6 penjelasan jenis karakter
berdasarkan the six pillar of character yang dikeluarkan oleh character counts
coalition yaitu:
1.
Trustworthinerss bentuk
karakter yang membuat seseorang menjadi berintegrasi jujur dan loyal
2.
Fairness bentuk karakter yang
membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan
orang lain
3.
Caring bentuk karakter yang
membuat seseorang menjadi peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun
kondisi social sekitarnya
4.
Respect bentuk karakter yang
membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain
5.
Citizenship bentuk karakter
yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap
lingkungan alam
6.
Responsibility bentuk karakter
yang membuat seseorang bertanggung
jawab,disiplin,dan selalu melakukan sesuatu dengan baik.
Jadi karakter seseorang dapat dibentuk dengan mengenalkannya
terhadap perilaku-perilaku melalui pendidikan kewarganegaraan yang dias peroleh
sejak SD sampai pada jenjang perkuliahan.
DISUSUN OLEH
YENI DWI ARISTA (K6410066)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
DAFTAR ISI
BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………..12
1.3 Daftar pustaka……………………………………………………………………12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak kekerasan tak
pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya
menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini
ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah satu SDN
Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR
dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang
guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali
putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang
yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau,
menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat.
Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak
asusila terhadap siswinya saat acaracamping. Selain tersebut di atas, banyak
lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah pendidikan kita.
Dalam melihat fenomena
ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama,
kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai
dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang
memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi
pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran
antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu,
kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk
pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke
tempat hiburan.
Kedua,
kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan
pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan
aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya
proses humanisasi dalam pendidikan. Ketiga,
kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan
media massa yang memang belakangan ini kianvulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Keempat, kekerasan bisa
merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami
pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikapinstant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima, kekerasan dipengaruhi
oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Kasus perilaku
kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama,
kategori ringan, langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan
susulan atau aksi balas dendam oleh si korban. Untuk kekerasan dalam
klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah kasusnya selesai secara
intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa ataukah tidak selesai dan
diekspos oleh media massa. Kedua,
kategori sedang namun tetap diselesaikan oleh pihak sekolah dengan bantuan
aparat, dan ketiga,
kategori berat yang terjadi di luar sekolah dan mengarah pada tindak kriminal
serta ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan. Umumnya kasus perilaku
kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup sekolah, masih
berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah. Lingkup inilah
yang akan menjadi sosotan dalam penelitian ini.
Penelitian dengan
menggunakan metode deskriptif-analitis ini bertujuan membuat tipologi perilaku
kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, terutama pasca reformasi sembari
mencari kondisi apa saja yang melatarbelakangi munculnya kekerasan dalam
pendidikan tersebut. Sebagai tanggung jawab moral, penelitian ini juga
mengusulkan kebijakan publik guna membenahi pendidikan kondisi pendidikan yang
lebih humanis, sehingga mampu mencegah berlanjutnya kekerasan dalam pendidikan
tersebut.
1.2
RUMUSAN MASALAH
a. Apakah
yang dimaksud dengan kekerasan dalam pendidikan itu?
b. Bagaimana
tipologi kekerasan dalam pendidikan?
c. Bagaimana
humanisasi pendidikan tersebut?
1.3
TUJUAN
a. Mengetahui
kekerasan dalam pendidikan
b. Mengetahui
tipologi kekerasan dalam pendidikan
c. Mengetahui
humanisasi pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 PEMBAHASAN
a. Untuk memotret persoalan ini, perlu ditelaah terlebih dahulu
kondisi pendidikan dewasa ini, yakni kondisi internal dan kondisi eksternal.
Kondisi internal merupakan faktor internal yang berpengaruh langsung bagi
perilaku para pelajar/ mahasiswa beserta pendidiknya, termasuk perilaku
kekerasan. Sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang merupakan
faktor tidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan.Merujuk
kepada kondisi internal, sejauh ini dijumpai kesenjangan (discrepancy, gap)
yang cukup dalam antara upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan (idealitas)
dengan kondisi riil yang dialami di lapangan (realitas). Diakui bahwa
pemerintah telah berupaya memperhatikan masalah pendidikan nasional sejak awal
kemerdekaan, era Orde Baru hingga saat ini. Pada awal Orde Baru, yakni masa
Repelita I (1969-1974), jumlah realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor
pendidikan dan kebudayaan adalah 77,7 miliar rupiah atau 8,2 % dari total biaya
seluruh sektor pembangunan yang mencapai 944,6 miliar rupiah. Sedangkan jumlah
realisasi bantuan proyek untuk sektor pendidikan dan kebudayaan mencapai 6,1
miliar rupiah atau hanya 2,1 % dari total bantuan proyek untuk seluruh sektor
pembangunan nasional yang mencapai 288,2 miliar rupiah.
Hingga
akhir Orde Baru (1998), Angka Partisipasi Kasar (APK) SD termasuk MI telah
meningkat dari 111,9 % pada tahun 1995/1996 menjadi 112,4 % pada 1996/1997. Di
tingkat SLTP, pada tahun 1996/1997 telah dibangun sebanyak 392 unit gedung baru
(UGB) dan 6,5 ribu ruang kelas baru (RKB) yang seluruhnya setara dengan 8,9
RKB. Upaya tersebut telah berhasil meningkatkan daya tampung murid baru SLTP
dari sekitar 2,6 juta orang pada tahun 1995/1996 menjadi 2,8 juta orang pada
1996/1997. Jumlah murid seluruhnya juga meningkat yaitu dari 6,9 juta pada
1995/1996 menjadi 7,6 juta pada 1996/1997. Dengan demikian APK sekolah lanjutan
SLTP termasuk MTs naik dari 60,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 68,7 % pada
tahun 1996/1997 yang berarti telah melampaui sasaran tahun ketiga Repelita VI,
yaitu 60,2 %.
Di tingkat
SLTA, pada 1995/1996 memiliki murid sebanyak 2,6 juta lalu meningkat pada 1996/1997 menjadi 2,8 juta. Sementara untuk
SMK meningkat dari 1,7 juta menjadi 1,8 juta murid. Dengan demikian, APK SLTA
meningkat dari 32,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 34,4 pada tahun 1996/1997.
Apabila murid MA diperhitungkan, maka APK SLTA pada tahun ketiga Repelita
tersebut mencapai 38,0 % yang berarti telah melampaui sasaran ketiga Repelita
VI, yaitu 35,4 %.
Di tingkat
Perguruan Tinggi (PT), jumlah mahasiswa meningkat dari 2,4 juta pada 1995/1996
menjadi sekitar 2,5 juta orang pada 1996/1997. Namun, karena kenaikan jumlah
penduduk usia 19-24 tahun, APK PT pada tahun ketiga Repelita VI masih tetap
seperti tahun sebelumnya, yaitu 10,6 %. Apabila jumlah mahasiswa PTA
diperhitungkan, maka APK PT pada tahun 1996/1997 adalah 11,8 % yang berarti telah
mencapai sasaran tahun ketiga Repelita VI yang juga sebesar 11,8 %.
Pun
demikian, kondisi pendidikan kita saat ini sesungguhnya memprihatinkan,
terutama sekali di lingkungan SD. Di Banjarmasin, ribuan gedung SD rusak berat.
Di Banjarnegara, dari 722 SD yang beroperasi, sebanyak 400 bangunan di
antaranya kondisinya rusak parah, sementara 4 bangunan SD sudah roboh. Sebanyak
323 SD/MI di Semarang rusak parah, dan akibat kekurangan murid, 470 SD Inpres
se-Jateng di tutup. Di Yogyakarta, 30 % gedung SD rusak, sedang tiap kecamatan
di Sleman kekurangan 30 guru. Kondisi demikian dialami oleh SD/MI di beberapa
daerah lain.
Selain
aspek bangunan, kondisi guru dan murid juga belum menggembirakan. 50 % guru SD
yang ada masih di bawah standar, sejumlah 99.033 guru SD di bawah D-2. Alokasi
dana yang dianggarkan oleh pemerintah teramat kecil bila dibandingkan dengan
kondisi yang ada, apalagi bila ditilik perbandingannya dengan negara lain.
Angka drop out juga tinggi. Tercatat sebanyak
15.000 lulusan SD-SLTP di Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2002/2003
diperkirakan tak bersekolah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, di
antaranya disebabkan karena pernikahan dini. Sebab ekonomi juga berpengaruh.
Sedikitnya 275 anak di Sleman, Yogyakarta, pada tahun 2001 putus sekolah karena
kesulitan biaya. Sementara itu, sejumlah 839.645 anak usia sekolah di Jateng
terlantar, tidak bisa meneruskan sekolah karena miskin.
Kondisi
kesehatan anak sekolah juga memilukan. Di Sidoarjo, berdasarkan penelitian
Diskes terhadap siswa-siswi SD/MI dengan sampel berjumlah 350 SD/MI, pada 1993
sebanyak 52,3 % siswa menderita kekurangan yodium, lalu meningkat drastis pada
2002 menjadi 75,6 %. Menurut ahli asma anak, dr Noenoeng Raharjoe, berdasarkan
survei dari Aceh hingga Manado, ditemukan fakta bahwa satu dari enam anak SD
menderita penyakit asma. Secara umum, di kebanyakan sekolah juga rawan
terjangkit Demam Berdarah. Bahkan terjadi puluhan siswa SD Demangan 01 Kota,
Madiun, mengalami keracunan setelah minum susu PMTAS (Program Makanan Tambahan
Anak Sekolah). Selain itu, di Kulon Progo, Yogyakarta, 54 SMUN 1 Temon yang
diduga terjangkit Hepatitis A akan dibekali kaporit. Sementara di Pacitan,
dijumpai 50 % pelajar menderita anemia.Di lingkungan sekolah menengah, baik
SLTP maupun SMU juga mengalami nasib tak jauh beda. Di Yogyakarta, 28 % lulusan
SLTA menganggur. SMU Negeri maupun Swasta minus siswa. Di Magelang, lulusan
SLTP yang melanjutkan ke SMU maupun SMK hanya 51 %. Jumlah pendaftar Penerimaan
Mahasiswa Baru (PMB) di UNS Solo tahun ini juga menurun.Sedangkan kondisi
eksternal terutama tampak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, di mana
pelaku pendidikan berada di dalamnya. Sejauh ini masalah narkoba, pornografi,
miras, dan pergaulan bebas, serta tindak kriminal, merupakan masalah sosio-kultural
yang sebagian ditemukan melibatkan pelaku yang terkait dengan simbol dan citra
pendidikan.
Selama
empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di Indonesia naik signifikan 90
%, dari 958 kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus pada 2001. Penggunanya bukan
lagi masyarakat umum, namun juga kalangan mahasiswa dan pelajar. Peredaran
narkoba ini bahkan telah merambah ke kalangan pelajar SLTP dan SD. Di Bogor, 16
siswa SLTP dipecat karena terbukti mengkonsumsi narkoba. Sementara itu di Yogya
ditemukan indikasi bahwa pemakaian narkotika ini sudah masuk ke SD.Hal yang
sama juga terjadi pada tayangan pornografi. Pornografi merupakan tantangan
besar bagi masyarakat dan pendidikan. Sebab, bila pornografi dibiarkan, akan
merusak moral rakyat, membuka peluang perkosaan, dan pernikahan dini. Masalah
pergaulan bebas juga menjadi masalah krusial dalam pendidikan kita, terutama
bagi pelajar dan mahasiswa. Menurut Romli Atmasasmita, menjadi preman bukanlah
karena turunan orang tua, melainkan melalui proses pergaulan ini. Beberapa
penelitian mengenai pergaulan bebas ini telah diungkap secara langsung, di
antaranya adalah penelitian tentang virginitas para mahasiswa Yogyakarta yang
dipublikasikan pada Agustus 2002 yang lalu, terlepas dari polemik dan
kontroversi yang muncul mengenai penelitian ini. Paling tidak, penelitian
tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pola pergaulan di kalangan
pelajar dan mahasiswa, ke arah yang lebih bebas. Kekerasan dalam pendidikan
bisa dipengaruhi secara tidak langsung oleh kondisi eksternal ini.
b. Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah
kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara
terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat
menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dari
definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:pertama¸
kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara
langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan
dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI terhadap
temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga
meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang. Kedua, kekerasan tertutup yakni
kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam,
intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu
merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab
orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan
ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM
Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak
saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain,
mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
Ketiga, kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang
dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau
bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilakukriminal,
di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya
kasus pembobolan di Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP,
atau penembakan guru SD hingga tewas.Keempat, kekerasan defensif (defensive)
yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade
aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga dengan pihak
sekolah, merupakan contoh yang relevan.Dari sisi tingkat (level)
kekerasan, intensitas suatu kekerasan bisa meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi kekerasan tingkat sedang bahkan dapat
berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa tindak kriminal dalam
pendidikan. Kekerasan disebut dalam bentuk potensi,bilamana
memiliki indikator sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk
menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman atau
intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik terbuka, unjuk rasa
berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi tindakan nyata, dan kekerasan
defensif menjadi ofensif, maka saat itu jugapotensi berubah menjadi kekerasan.
Meski
demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara berurutan dari
potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak kriminal (berat).
Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada potensi saja, tidak
berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan berbentuk tindak
kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan sebelumnya. Akan tetapi
penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan berlanjut
menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal.
Dari 6
surat kabar yakni Bernas,
Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Republika, Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih
secara acak (random sampling), ditemukan sebanyak 71 kasus potensi
kekerasan atau tingkat ringan yang umumnya terjadi karena sebab tertentu yakni:
masalah sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan,
masalah demokratisasi dan transparansi, penyelenggaraan pendidikan, terutama di
lingkungan kampus, masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara
spontan karena adanya momen tertentu, dan masalah lainnya.Sedangkan kekerasan
dalam kategori sedang, dalam penelitian ini, ditemukan 93 kasus yang sebagian
besar muncul secara langsung tanpa didahului oleh kekerasan sebelumnya. Kasus
ini berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa,
kasus kekerasan guru terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap
guru, kasus kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan
masyarakat terhadap siswa.
Adapun
kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat pada
pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan. Siswi SD dan SLTP
termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang acap kali dilakukan oleh
pelaku yang sudah dikenal atau dekat. Sedang kasus penculikan dilakukan karena
motif tertentu seperti permintaan uang tebusan. Aksi pencurian juga mewarnai
kekerasan masyarakat kepada pihak sekolah/kampus. Sementara tindak kriminal
berupa pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang mencapai 200 kasus
dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik permanen dan
kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di kalangan pelajar dan
mahasiswa, bentuk tindak kriminal yang sering terjadi adalah peredaran dan
konsumsi narkoba sebagaimana yang terjadi di Sleman dan Yogyakarta.
c. Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu
normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek
didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta
dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan
merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya pendidik, bahkan seharusnya
dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya.
Menurut Freire, fitrah
manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek.
Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak
mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan
“sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut
apa adanya”, sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus
menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu
berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya. Oleh karena itu, pendidikan
harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri,
dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya.
Adanya beberapa bentuk
kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa
proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya
untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas
spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu
mengatasi persoalan yang dihadapi.Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan
beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom,active
learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Humanizing of
the classroom ini
dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga
banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya
alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroomini
dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model
“pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari
diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah,
mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran.
Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang
lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan
oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran
ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian
informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan
sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar
pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai
masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan
saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit,
dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan
paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus
adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan,
dan menarik. Active learningmenyajikan
101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi
pembelajaran.
Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan
bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di
sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum
learning menggabungkan
sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan
metode tertentu. Quantum
learning mengasumsikan bahwa
jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu
membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode
belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda.
Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan
dan berlangsung dalam suasana gembira,
sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan
baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar
yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira
dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan
kekuatan yang integral. Quantum
teaching berisi
prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan
progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang
mengagumkan dengan waktu
yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas
utama bawalah dunia mereka ke
dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian
merupakan kegiatan full
content yang melibatkan semua
aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping
pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang.
Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni
(diorkestrasi).The accelerated learning merupakan
pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa
pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik
konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas
menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual(SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan
mendengarkan). Visual diartikanlearning by observing
and picturing (belajar dengan
mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and
reflecting (belajar dengan
pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi DePorter
menganggap accelerated
learning dapat memungkinkan
siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal
dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak
tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan,
permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan
emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman
belajar yang efektif.
Dalam Islam, paradigma
pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthropocentris dan theocentris. Artinya proses
perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis
terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan
fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan
duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi
kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan
berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni
manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis
ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan
pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu.
Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju
ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan
berikutnya.Dimensi theocentris (hablun min Allâh)
dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi
mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak
disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan
demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan
kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah
dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati
dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan.
Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak
diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip
tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam
yang humanis yaitu: pertama,
manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk
lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses
pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang
memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua,
manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam
sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan
perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu
keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian
dan permenungan. Ketiga,
ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri
khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin.
Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran
tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.Keempat,
manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor
bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan
sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan
kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi
yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam
kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan.
Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi.
Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya
kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual
(moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya
memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih
penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis
kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme,
keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa
kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan
materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
BAB III
PENUTUP
1.1
KESIMPULAN
Kekerasan
pendidikan masih sering dijumpai dalam pendidikan kita. Berbagai kasus yang
diungkap dalam penelitian ini adalah bukti nyata hal di atas. Agar pendidikan
berjalan tanpa kekerasan, maka perlu dipertimbangkan pendidikan nilai yang
efektif, penerapan metode pembelajaran yang humanis, dan internalisasi
nilai-nilai Islam, moral dan budaya nasional dalam keseluruhan proses pendidikan.
Untuk itu, pemahaman yang cukup tentang pendidikan yang humanis perlu diketahui
semua pihak yang terlibat dalam pendidikan.
1.2
DAFTAR PUSTAKA
A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih (ed.), Transformasi Pendidikan Memasuki
Milenium Ketiga, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2000.
Abdul Fattah Jalal, Min
al-Ushûl al-Tarbiyyah fî al-Islâm, t. tp., 1977.
Abdul Ghani Abud, Al-Aqîdah
al-Islâmiyyah al-Aydiôloghia al-Mu’âshirah, Dar al-Fikri al-Arabi, Kairo
Mesir, 1976.
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan
Anak Dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid 1, Pustaka Amani, Jakarta, 1994.
Abrasyi al. M. Athiyah, Rûh al-Tarbiyyah wa al-Ta’lîm, Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Mesir, t.t.
Alia Ali Izetbegovic, Islam
antara Timur dan Barat, Pustaka, Bandung,
1993.
Andrias Harefa, Menjadi
Manusia Pembelajar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2001.
Armada Riyanto, F., Agama
Anti Kekerasan, Dioma, Malang,
2000.
Azim, Ali Abdul, Falsafah
al-Ma’rifah fî al-Qur’ân al-Karîm, al-Haidah al-Ammah, Kairo, 1973.
Azyumardi Azra, Esei-esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar